Oleh: Prawito
Susi, begitu saja panggil namanya, seorang wartawati media terkenal. Setelah komunikasi beberapa kali, kemudian bertanya tentang suhu udara di Arab Saudi, kemudia saya share accuweather, tertera 46 derajat celcius, wow panas bener. Lalu Dia jawab, Wow?.. Blm ada kasus dehidrasi ya pak? Kolera gmn?. Ini jawaban asli wartawan tadi.
Kemudian ada wartawan yang lain lagi, sebut saja Udin. Ketika ada kasus seorang jemaah meninggal, hebohnya bukan main. Termasuk sibuk menanyakan apa penyebab kematiannya. Sampai dengan agak rasa kesal, nara sumber yang ditanya, berkata, apasih yang mau dicari ?
Jemaah haji yang sehat dan hidup saja banyak, kenapa sibuk dengan jemaah satu orang yang sudah ditakdirkan meninggal ?
Dua kasus di atas kita dapat mengambil beberapa pelajaran; pertama, seolah olah kita menginginkan sesuatu yang buruk pada orang lain. Saya tidak tahu, apakah ini bagian dari cara berfikir badnews is goodnews ?
Pertanyaan ini kemudian saya jawab, jangan ada yang sakit, dehidrasi dan kolera, semua jemaah haji Indonesia sehat, kita harus berdoa untuk kesehatan semua jemaah haji Indonesia. Lantas di balas oleh wartawan itu, betul pak, setuju, semua sehat, jemaah yang pergi dan pulang ke tanah suci sama jumlahnya.
Jawaban di atas mulai benar menurut kaidah rasa kemanusiaan. Sebab tak ada seorangpun, termasuk jurnalis ketika sedang berfikir lurus menginginkan saudara atau dirinya menderita, sakit, kesulitan dan dalam kondisi apa dan dimanapun, termasuk saat berhaji. Sekalipun sangat menarik menjadi berita.
Sekalipun saya seorang jurnalis, sekalipun hanya juralis plat merah, ketika harus menghadapi situasi lapangan yang mengharuskan memilih menulis atau melayani, membantu, saya lebih cenderung pilihan kedua. Padahal secara formal, kontrak kerja saya sebagai jurnalis untuk meliput kesehatan haji.
Kemudian terfikir, oh bantu dulu mereka yang membutuhkan pertolongan, setelah itu baru memberitakannya. Pilihan ini juga belum terlaksana, karena sampai hari ini drama berjatuhan jemaah haji yang tumbang di terowongan mina karena berbagai sebab dan alasan, tak pernah terekpos. Saya masih merasakan sedih dan duka yang amat dalam atas kejadian itu.
Saya menyakini dan mempunyai persepsi tentang sesuatu nilai, mana yang layak berita dan tidak, kesemuanya harus mendatangkan manfaat untuk orang lain, termasuk yang menjadi sumber berita atau semua yang terkait dengan pemberitaan. Berusaha menjaga agar tidak terjebak pada pemberitaan yang membuka aib seseorang. Padahal kita harus menutup aib saudara, teman dan orang lain, agar kita ditutup aibnya oleh Allah SWT.
Bukankah manusia itu banyak kelemahan, kekhilafan dan kekurangan. Kalaulah saat ini ada diantara kita tampak baik, bersih, shaleh dan berderet atribut kebaikan, itu hanya karena Allah masih menutup aib-aibnya. Tapi, kalau Allah membuka aib dan borok keburukan kepermukaan, maka siapa yang bisa bertahan dan menutupnya ?
Untuk itulah, ketika akan menulis tetap menimbang akan manfaat tulisan yang akan menjadi milik publik, siapa saja dapat membaca dan menshare kemana saja dia suka. Apalagi ketika media sosial sudah menjadi budaya hidup, maka informasi itu akan menyebar luas tanpa kendali. Akibatnya, aib seseorang terbuka dan menjadi trending topik.
Akhirnya, sebagai manusia biasa, bukan siapa siapa dan tak punya apa apa mengaturkan permohonan maaf yang sebesar besarnya, atas salah tulis dan berita selama menjadi petugas liputan kesehatan haji 2017. Selanjutnya saya juga mohon ampun atas salah, khilaf dan perilaku buruk yang tak terlihat manusia. Ya…Allah, ampuni hambaMu yang lemah ini. Amin.
Tulisan ini juga sebagai penutup dari sekian tulisan rubrik sisi lain kesehatan haji yang selalu diakhir dengan kalimat bersambung. Sampai jumpa pada kesempatan dan episode yang lain. Sekian dan terima kasih.